Ritual Teh: Lebih dari Sekadar Minum
Di suatu sore yang biasa, aku menemukan diri sendiri duduk di tepi jendela dengan secangkir teh hangat. Cahaya lembut masuk, debu beterbangan pelan seperti tarian kecil yang hanya bisa dilihat kalau kamu berhenti bergerak. Ada sesuatu tentang ritual teh sore yang membuat semuanya terasa tepat — bukan karena teh itu luar biasa, melainkan karena momen yang sengaja aku berikan untuk berhenti sejenak.
Minum teh bagi banyak budaya adalah seni. Jepang punya upacara yang penuh tata krama, Inggris punya tea time yang rapi dengan kue kecil, sementara di rumah nenek aku, teh selalu disajikan dengan cerita. Aku belajar bahwa cara kita menyeduh, memilih cangkir, bahkan menghirup aroma sebelum tegukan pertama, semuanya ikut memberi warna pada pengalaman.
Manfaat yang Bikin Aku Ketagihan (Tanpa Rasa Bersalah)
Kata “manfaat” terdengar formal, tapi percayalah, ini nyata. Teh herbal itu seperti sahabat yang menenangkan. Chamomile, misalnya, ampuh untuk menurunkan ketegangan setelah hari yang panjang. Peppermint membantu perut yang rewel setelah makan pedas (ya, aku sering kebablasan sambal). Jahe bikin hangat di badan dan melawan masuk angin. Dan hibiscus? Cantik warnanya, segar rasanya, serta baik untuk tekanan darah.
Aku juga suka bahwa sebagian besar teh herbal bebas kafein, jadi bisa diminum sore atau malam tanpa takut susah tidur. Selain itu, banyak herbal kaya antioksidan dan senyawa yang mendukung sistem imun — hal kecil yang terasa penting di musim hujan atau saat banyak tamu pilek lewat kantor. Kalau kamu ingin eksplorasi, aku pernah menemukan campuran unik di hanateahouse yang terasa seperti pelukan hangat dalam cangkir. Cuma saran, jangan terlalu lama menyeduh peppermint; dia bisa jadi terlalu tajam.
Jenis-Jenis Teh Herbal yang Sering Kupilih
Aku punya kebiasaan memilih teh sesuai suasana hati. Beberapa favorit yang sering muncul di meja soreku:
– Chamomile: lembut, bunga, cocok untuk menenangkan. Ideal kalau aku butuh tidur nyenyak.
– Peppermint: menyegarkan, bikin perut lega, ampuh setelah makan berat.
– Jahe: pedas hangat, bagus untuk badan dingin dan menghangatkan suasana.
– Hibiscus: asam manis, berwarna merah menyala. Aku suka campur sedikit madu.
– Lemongrass (serai): harum, ringan, terasa seperti berjalan di kebun sore.
– Rooibos: bukan teh sejati tapi herbal dari Afrika Selatan; kaya antioksidan dan cocok untuk yang ingin rasa ‘teh’ tanpa kafein.
Ada pula tulsi (holy basil) yang aromanya unik dan populer di kalangan yoga. Setiap herbal membawa karakter sendiri. Kalau aku sedang mood melankolis, pilihannya mungkin chamomile; kalau butuh fokus, kadang aku pilih teh hijau ringan, walau itu bukan herbal murni.
Catatan Ringan: Cara Menikmati Teh Sore Menurutku
Beberapa hal kecil yang membuat ritual teh sore terasa istimewa: gunakan air yang baru dididihkan, cangkir yang enak digenggam, dan jangan lupa stopwatch. Ya, aku sebenarnya pakai timer; dua menit lebih atau kurang bisa merubah rasa. Kalau pakai loose leaf, beri ruang agar daun bisa ‘bernapas’.
Tempat duduk juga penting. Sore favoritku adalah kursi dekat jendela, dengan selimut tipis di pangkuan kalau angin masuk. Kadang aku bawa buku. Kadang cuma menatap jalanan dan menghitung kendaraan lewat. Ritme kalimat pendek dan panjang: teh menyegarkan, teh menenangkan. Satu teguk, dunia terasa agak lebih teratur.
Oh, dan jangan ragu bereksperimen. Campurkan sedikit jahe ke dalam chamomile, atau tambahkan kulit jeruk kering ke rooibos. Beberapa kombinasi terdengar aneh di atas kertas, tapi bisa jadi mengejutkan enaknya. Intinya, ritual teh sore bukan soal aturan kaku. Itu tentang memberi waktu untuk diri sendiri, menilai ulang hari, dan menikmati hal-hal kecil — aroma, warna, dan kehangatan yang mengalir di tangan.
Kalau kamu belum punya kebiasaan ini, coba mulai dari satu cangkir setiap beberapa hari. Buat itu jadi ritual kecil yang hanya untukmu. Percayalah, momen sederhana itu bisa mengubah cara kamu melihat sisa hari.